Sabtu, 11 Mei 2013

Perkembangan standar akuntansi internasional yang seragam merupakan fenomena baru dan perkembangan standar yang seragam ini pun masih dalam tahap infancy



  • 1. Perkembangan standar akuntansi internasional yang seragam merupakan fenomena baru dan perkembangan standar yangseragam ini pun masih dalam tahap infancy. Sebagai contoh, Uni Eropa tidak mewajibkan penggunaan IFRS untukperusahaan publik meraka sampai dengan tahun 2005. Hasilnya, masih relatif sedikit data yang mengungkapkankonsekuensi ekonomi dari kewajiban adopsi/penggunaan IFRS.Ball (2006) menyediakan sebuah overview dari isu-isu seputar adopsi IFRS dan mengidentifikasi beberapa isu kunci yangmungkin membatasi keberhasilan dan efektifitas kewajiban IFRS. Meskipun begitu, beberapa dari konsep yang diajukanbelum teruji karena kewajiban (mandat) adopsi IFRS masih sangat baru. Saat ini, hanya beberapa studi yang menganalisiskonsekuensi ekonomi dari pengenalan pelaporan IFRS yang dimandatkan. Kebanyakan studi tersbut menguji keputusansukarela (voluntary) perusahaan untuk menyediakan laporan keuangan yang sesuai (conform) dengan standar akuntansi internasioanl “yang berkualitas tinggi” (“high quality” international accounting standards). Soderstom dan Sun (2007) jugamenyediakan hasil survey yang menguji link antara adopsi IFRS dengan kualitas angka-angka akuntansi perusahaan (firm’saccounting numbers).Pengujian empiris konsekuensi ekonomi adopsi IFRS secara sukarela umumnya menganalisa dampak langsung terhadappasar modal (seperti likuiditas dan biaya modal ekuitas) atau dampak terhadap berbagai partisipan pasar modal (sepertidampak terhadap properti peramalan analis atau kepemilikan oleh investor institusional). Contoh studi yang mengujidampak terhadap pasar modal dari pengadopsian IFRS secara sukarela antara lain Leuz dan Verrecchia (2000), Barth et al(2007), Karamanou dan Nishiotis (2005), Cuijpers dan Buijink (2005), Daske (2005), Hung dan Subramanyam (2007), danDaske, Hail, Leuz, dan Verdi (2007a).Leuz dan Verrecchia (2000) menguji perusahaan-perusahaan Jerman yang mengadopsi IAS atas US GAAP ddengan membandingkannya dengan stadar akuntansi domestik Jerman (HGB), dan menemukan bahwa perusahaan yang menggunakan IAS ayau US GAAP menunjukkan bid-ask spread yang lebih rendah, turnover yang lebih tinggi, penurunandalam spread dan turnover dibandingkan dengan perusahaan yang menggunakan standar akuntansi domestik (GermanGAAP).Cuijpers dan Buijink (2005) menggunakan estimasi biaya modal implikasian (implied cost of capital estimates) dan tidakmenemukan perbedaan yang signifikan antara perusahaan yang menggunakan standar lokal dengan IFRS di negara-negaraUni Eropa. Daske (2006) menguji adopsi IFRS secara sukarela oleh perusahaan-perusahaan Jerman dan menemukan bahwa perusahaan-perusahaan IFRS menunjukkan biaya modal ekuitas lebih tinggi daripada perusahaan-perusahaandengan standar akuntansi Jerman. Daske, Hail, Leuz, and Verdi (2007a) menunjukkan bahwa perusahaan dengankomitmen “serius” untuk mengadopsi IFRS mempunyai biaya modal lebih tinggi manfaat biaya modal dan likuiditas pasar dibandingkan dengan perusahaan yang secara sederhana mengadopsi IFRS hanya sebagai “label”.Karamanou and Nishiotis (2005) menguji return short-window announcement terhadap adopsi IFRS. Namun, tantangan terhadap studi ini adalah bahwa tipe studi ini dengan menggunakan reaksi terhadap short-window market juga menanngapefek berita yang secara potensial berhubungan dengan adopsi IFRS (seperti informasi tentang kesempatan pertumbuhan).Dengan demikian, tipe desain studi ini mungkin kurang layak untuk mengisolasi dampak dari adopsi IFRS.Dengan memfokuskan pada kualitas pelaporan, Barth, Landsman and Lang (2007) menganalisis perubahan properti labayang dilaporkan seputar adopsi pelaporan IFRS dan menujukkan bukti bahwa kualitas pelaporan keuangan meningkat.Hung and Subramanyam (2007) Hung and Subramanyam (2007) menguji sampel dari perusahaan Jerman dan mengujidampak pelaporan keuangan terhadap adopsi IAS antara tahun 1998 dan 2002. Mereka menemukan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam relevansi nilai (value relevance) dari angka-angka akuntansi dengan adopsi IFRS, tetapi ada bukti yanglemah bahwa laba berdasarkan IAS menunjukkan konservatisme kondisonal yang lebih besar daripada laba yang dihasilkandari pelaporan berdasarkan standar akuntansi Jerman.Ada juga beberapa studi tentang reaksi partisipan pasar modal terhadap adopsi sukarela IFRS. Cuijpers and Buijink (2005)menemukan peningkatan analisi seputar IFRS, tetapi dampaknya tidaklah robust untuk mengontrol self selection. Covrig atal (2007) mendokumentasikan bahwa kepemilikan reksa dana (mutual fund) oleh pihak asing secara signifikan lebih tinggiuntuk para adaptor IFRS dibadingkan dengan perusahaan dengan basis GAAP lokal dan bahwa perbedaan dalamkepemilikan reksa dana meningkat untuk perusahaan dengan lingkungan informasi yang jelak (poor informationenvironments) dan dengan fisibilitas yang rendah, menyarankan bahwa pelaporan IFRS dapat membantu perusahaanmenarik investor institusional asing. Sebagai tambahan, bukti sekitar adopsi IFRS secara sukalera memang masih tidakkonsisten (mixed).Sebagaimana disampaikan di atas mengenai diskusi seputar literatur pengungkapan sukarela, tantangan utama untuk studisemacam itu adalah fakta bahwa perusahaan memilih bagaimana dan kapan mengadopsi IFRS. Sehingga, masih sulit untukmengatribusikan dampak observasian terhadap adopsi IFRS.

  • 2. DAMPAK POSITIF Lebih lanjut, studi tentang keputusan pelaporan keuangan berbasis IFRS secara sukarela hanya dapatmemberikan sedikit bukti kepada kita tentang dampak agregat dari mandated IFRS.Sekarang kita lihat beberapa studi dengan pendakatan sedikit berbeda yang menguji konsekuensi ekonomi dalam masatransisi kewajiban pelaporan berbasis IFRS. Studi yang ada dalam masa transisi ini secara umum menguji:(i) Reaksi pasar modal terhadap major events sebelum adopsi IFRS yang mempengaruhi kemungkinan bahwa sebuahyurisdiksi (seperti Uni Eropa) akan mengadopsi mandatory IFRS.(ii) Atau outcomes pasar modal observasian setelah pengenalan mandatory IFRS dalam sebuah yurisdiksi.Studi pada kategori pertama menggunakan reaksi pasar modal untuk menyimpulkan apakah pemegang sahammempersepsikan net benefit atau net cost dari adopsi IFRS. Beberapa penelitian dengan pendekatan kategori pertama inimembandingkan insentif dan enforcement antara negara dengan insentif dan enforcement yang kuat dengan yang lebihlemah. Beberapa peneliti dengan kategori ini antara lain Comprix at al (2003) dan Amstrong at al (2007). Beberapa temuanpenelitian mereka adalah bahwa reaksi pasar modal lebih positif pada perusahaan dengan kualitas lingkungan pelaporanyang lebih rendah sebelum IFRS (pre-IFRS), dengan asimetri informasi yang lebih tinggi sebelum adopsi IFRS, dan untukperusahaan dari negara-negara common law.Studi pada kategori kedua menganalisi dampak pasar modal setelah kewajiban adopsi IFRS. Sebagai contoh, Platikanova(2007) menguji ukuran likuiditas pasar pada perusahaan-perusahaan di empat negara Eropa. Selain menemukan perubahanheterogen dalam ukuran likuiditas di empat negara setelah adopsi IFRS, Platikanova (2007) juga menemukan bahwa secarapenurunan secara keseluruhan dalam perbedaan likuiditas antar negara setelah adopsi IFRS. Daske, Hail, Leuz and Verdi(2007b) juga menguji dampak adopsi IFRS di 26 negara terhadap likuiditas pasar, biaya modal ekuitas dan Tobin’s Q.Mereka menemukan bahwa, secara rata-rata, likuiditas pasar dan penilaian ekuitas meningkat di sekitar pengenalan adopsimandatory IFRS di negara-negara yang mereka uji. Namun, keunggulan dan manfaat pasar ini hanya ada di negara-negaradengan rezim strict enforcement dan lingkungan institusioal yang menyediakan insentif pelaporan yang kuat. Menariknya,mereka menemukan bahwa dampak pasar modal setelah adopsi wajib IFRS adalah lebih pronounced untuk perusahaan-perusahaan yang pada awalnya secara sukarela (voluntarily) beralih ke IFRS sebelum menjadi diwajibkan.ϑSemakin banyak data yang tersedia, tidaklah diragukan lagi bahwa akan banyak temuan-temuan empiris tentang outcomesdari adopsi mandatory IFRS di banyak negara-negara di dunia.Labels: AccountingOtonomi Daerah di IndonesiaOTONOMI DAERAH DI INDONESIASejak reformasi di gulirkan dan menguknya konsep otonomi daerah sebagai bentuk kritikan terhadappengelolaan pemerintahan pada zaman ordebaru yang dinilai pemerintahan yang sangat sentralistik yangkesemuanya dikomandoi atau segalah urusan dinakodai pemerintah nasional atau pusat sehingga daerahatau sub nasional tidak memiliki peranan yang berarti dalam pengolaha pemerintahan. Tak terkecuali urusan pemerintahan yang bersifat tekhnis dimana jakarta menjadi aktor penentu, meskipun jauh sebelumadanya otonomi daerah telah ada kritikan tentang pengelolaan pemeritahan yang seperti itu dengananggapan bahwa keputusan yang diambil tidak tepat sasaran dengan apa yang diharapkan di daerah ,Setidaknya dalam hal pengelolaan negara tersebut, substansinya berada pad rana Horisontal atau yangmana terkait dengan fungsi serta vertikal yaitu struktur penyelanggara pemerintahan seperti pemerintahannasional atau pusat, daerah atau sub nasional. Dimana batasan batasan fungsi atau wewenang antarapemerintah pusat dan pemerintah daerah serta hubungan diantaranya dalam mengelolah pemerintahan.Setidaknya kalau kita melihat kondisi yang terjadi saat ini yang menarik untuk kita simak, fenomena yangterjadi dalam masyarakat itu sendiri, kita melihat Masyarakat terklasterisasi suku, wilayah yangdicontohkan oleh wawan mas’udi adanya sub teritorial contoh dapat dilihat pada struktur TentaraNasional Indonesia TNI yang kesemuanya tersusun sampai pada tingkatan desa, tingkatan yang ada di  

  • 3. bawah. adanya pemerintah pusat dan daerah provinsi dan kabupaten kota dan bahkan sampai padatingkatan yang paling bawah yaitu tingkatan desa.Penyelenggaraan diharapkan berjalan dengan baik sehingga sangat dimungkinkan terjadinya pembagiankekuasaan atau kewenangan mengelolah pemerintahan, hal tersebut di setiap negara di dunia tidak semuamemiliki cara yang sama dalam mengelolah pmerintahanya, pembagian kekuasaan setidaknya yangsering kita dengarkan bahwa ada dua sumber otoritas, yaitu ada pada pemerintah nasional dan otoritas adapada pemerintah sub nasional atau masyarakat. Dalam mempersatukan antara pemerintah pusat danpemerintah yang ada di daerah memiliki cara yang berbeda meskipun dengan tujuan yang sama, dalamhal ini setidaknya ada dua bentuk negara yang dihasilkan, yaitu negara kesatuan dan negara liberal. Yangmana negara kesatuan danlam mempersatukan dengan cara sepenuhnya otoritas berada pada pemerintahpusat. Sehingga menganggap bahwa negara ini dapat disatukan dengan cara semua urusan pemerintahanyang ada semua di komandoi oleh pemerintah pusat, dan hal ini pula yang terjadi di indonesia padapemerintahan orde lama dibawak kepemimpinan presiden soeharto, yang sangat terkenal dengan bentukpemerintahan yang sangat sentralistik atau terpusat, segala urusan pemerintahan jakarta menjaditumpuan., sedangkan negara federal kekuatan atau otoritas hanya berada pada pemerintah negara bagian.Wawan mas’udi mencontohkan hal tersebut pada penyelenggaraan pemerintahan yang ada di America.Dengan negara liberal dianggap sebagai cara yang sangat tepat dalam mempersatukan dengan carapemberian kewenangan penuh terhadap pemerintahan negara bagian yang ada, dan beranggapan bahwapenyelanggaraan pemerintahan dengn cara sentralistik yang terpusat justru tidak melahirkan persatuanakan tetapi peluang melahirkan perpecahan dan konflik yang terjadi antara pemerintah pusat dan daerah,dan dianggap ancaman terhadap sebuah persatuan.Hubunga pemerinta pusat dan daerah bukanlah permasalahan yang baru di indonesia akan tetapi problemmasalalu yang hingga saat ini belum terselesaikan, meskipun waktu yang lebih dari cukup telah terlewatiakan tetapi bukan berarti tidak ada usaha sama sekali dalam menangani masalah tersebut. Telah banyakusaha yang dilakukan pemerinta walhasil sampai saat ini belum kunjung terselasaikan, permasalahanhubungan antara pemerintah pusat dan daerah telah banyak undang-undang yang mengatur sampai saatini ternyata tidak kunjung terselesaikan juga, pemerintahan yang sentralistik maupun pemerintahan yangdemokratis telah di praktekkan di negri ini yang tentunya melahirkan berbagai pandangan dan penilaianmasing-masing. Seperti adanya anggapan bahwa Pemerintaha yang sentralistik dinilai mambuatmasyarakat menjadi apolitis.Pada beberapa titik wilayah yang ada di indonesia begitu banyak yang menyuarakan aspirasi daerahnya,sehingga tuntutan masyarakat tentang pemekaran wilaya yang sangat luar biasa terjadi di beberapadaerah, atasnama memperjuangkan aspirasi rakyat, kemudahan administrasi yang hendak di perjuangkanhingga saat ini adanya upaya pemerintah mengevaluasi beberapa daerah hasi lepemekaran. Dalamfenomena tersebut bahwa ternyata Hal menarik lainya yang dapat kita saksikan, sebagai dampak dariotonomi daerah dan terjadinya pemekaran wilayah di berbagai daerah yaitu pada pembagian wilayah yangada di indonesia bukanlah pembagian administratif tapi pembagian klaster poliitik, pada dasaryapemekaran wilayah yang terjadi di berbagai daerah yang ada di indonesia semangatnya telah berubahdenga derajat yang sangat tinggi, diman pada setiap pemekaran yang ada bukan lagi terletak pada aspekadministrasi, tapi pada semangat suku. Dapat diliha pada penyelenggaraan pemerintahan yang ada diberbagai wilaya di indonesia. Wawan mas’udi dalam hal ini mencontohkan pemerintahan antarayogyakarta dan Jawatengah. Kalau di sulawesi tengah dapat diliha pada kasus yang terjadi di kabupatenbungku dan kolonedale kabupaten morowali.Jikalau pembagian dengan di dasarkan pada admionistratif, maka dapat dipastikan sangat banyak daerahyang tidak layak atau tidak memenuhi untuk menjadi suatu daerah yang otonom, kondisi demikianlahyang terjadi di indonesia saat ini, Dalam pemerkaran wilayah yang ada di indonesia ada sebenarnya adaunsur politk didalamnya, pemekaran daerah yang ada tidak lagi terletak pada substansinya, banyaknyatantangan yang di hadapi dalam penyelenggaraan otonomi daerah tentunya membutuhkan perhatianpemerintah dalam hal tersebut, bebrapa kabar terdengar pada akhir-akhir ini bahwa otonomi daerah akan

  • 4. di evaluasi, respon pemerintah tersebut dengan melakukan pembentukan evaluasi terhadappelaksanaanya, dan kabar terakhir yang kita dengarkan bahwa tim tersebut telah terbentuk seperti yangdiberitakan pada, (kompas) sabtu 09 januari 2010.Pemerintahan yang sentralistik dinilai berbenturan dengan karakteristik yang ada di daerah, di setiapdaerah yang ada di indonesi memiliki karakter yang berbeda, baik daris segi potensi wilyah yang ada diindonesia maupun dari segi kultur yang ada di masyarakat sehingga sangat dimungkingkan terjadinyaperbedaan kebutuhan yang ada di daerah sehingga ada yang beranggapan bahwa pemerintahan yang adadi daerah seharusnya memperhatikan kearifan lokal yang ada di daerah, sehinggga dalam pembangunanyang ada karakter daerah tetap dipertahankan, disamping itu kebijakan yang diambil oleh pemerintahsesuai dengan kebutuhan yang ada di daerah, terlebih dengan kondisi indonesia yang plural. Disampingitu ada anggapan bahwa bahwa untuk membangun negara menjadi maju pemerintahan yang sentralistikjuga bisa mewujudkanya, wawan mas’udi memberikan gambaran Di eropa dengan pemerintahansentralistik juga manjadi negara maju akan tetapi sangat berbeda dengan kondisi yang ada di indonesia dieropa masyarakatnya homogen, di indonesia masyarakatnya yang plural sehingga sangat rentang terhadapkonflik dan perbedaan, isu yang mungkin sering kita dengar pada dekade tarakhir ini yaitu isu daerah.Pemekaran daerah yang marak pada dekade terakhir ini hingga pemekaran di pertanyakanmengedepankan pelayanan bukankan pemekaran adalah sebuah bentuk pembagian kekuasaan para elitpolitik, yang mana pemekaran dapat digambarkan sebagai pembagian kekuasaan dari elit pusat yang adadi jakarta, kepada elit lokal yang ada di daerah yang mana otonomi daerah tidak lagi pada substansinya,sehingga desentralisasi yang menjadi pilihan saat ini tidaklah bersifa final bisa saja akan mengalamiperubahan, terlebih dengan yang ada di indonesia setiap rezim memperlakukan pola yang berbeda bedadalam menjalangkan pemerintahan,Desenralisasi hanyalah sebagai bentuk atau pola transfer otority kepemerintah sub nasional yang ada didaerah. Disamping itu dalam implementasi otoritas atau penyelenggaraan pemerintahan perlu ada kontrolyang baik terhadap proses pelaksanaan pemerintahan.Terkait dengan otoritas antara pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi ada fenomena menarikyang kita liat dimana dengan otonomi daerah yang ada, memberikan otoritas yang besar berada padapemerintahan yang ada di kabupaten, sehingga koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintahyang ada di kabupaten sering terkandala, dimana pemerintah kabupaten menganggap bahwa otoritasmelekat pada dirinya sangat besar, sehingga enggan tunduk pada pemerintah provinsi dan bahkanpemerintah yang ada di kabupaten membetuk kekuatan sendiri wawan pada perkuliahan yang lalumencontohkan pada kasus pemerintah di merauke.Kondisi yang terjadi di iondonesia saat ini yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah adalahsebuah permasalahan yang cukup serius, setidaknya ada beberapa motif yang melatarbelakangi seperti,keterjangkauan, efisiensi (hal yang strategis) keamanan dan ekonomi. Dalam implementasi otonomidaerah setidaknya harus memperhatikan persoalan keterjangkauan, terutama dari segi pelayanan terhadapmasyarakat, yang terkait pada persoalan wilayah dan tata letak, persoalan efisiensi yang terkait denganpersoalan biaya, jarak. Hal tersebut yang harus mendapat perhatian besar dalam pelaksanaan otonomidaerah disamping dua hal yang strategis keamanan dan ekonomi yang juga harus mendapat perhatian.Disamping hal tersebut diatas indonesia juga harus memikirkan hal yang strategis, terutama pemerintahyang ada di pusat, dimana yang terjadi saat ini pemerintah pusat yang memiliki urusan yang terlau banyasehingga tidak satupun yang terselesaikan dengan baik, pusat mengurusa sampai pada urusan yangbersifat tekhnis yang ada di daerah. Pemerintah seharusnya memikirkan yang strategis dan terfokus.Dengan hal tersebut tujuan dapat tercapai.Hal yang sama sepertinya mulai terulang lembali, kalau kita memperhatikan pengelolaanpemerintahanyang ada saat ini ada usaha untuk sentarlisasi kembali meskipun dengan cara yang berbeda

  • 5. sentarlisasi yang berbeda pada orde baru, menurut wawan mas’udi sentralisasi yang ada pada saat iniberada pada sofwer, mencontohkan pada penganggaran. Disadari atau tidak bahwa watak dasarpemerintah di indonesia adalah sentralistik, sehingga upaya pengelolaan pemerintahan yang sentralistikbisa saja terjadi, meskipun pada konsep otonomi daerah.Demokrasi yang ada di indonesia adalah demokrasi liberal, seperti yang ada di america bukan lagidemokrasi pancasila sebagai contoh pada pemilihan presiden dan wakil presiden dengan cara one manone vote masyarakat bisa menentukan siapa yang menjadi pemimpin mereka. Hal ersebut kritikanterhadap Pemilihan bupati melalui DPR yang di anggap terjadi kolusi dan semuah yang dipilih DPRsangat mudah dijatuhkan.Kepercayan masyarakat semakin menurun, Kebaradaan partai politik yang selalu saja terjadi konflikinternal, yang permasalahanya adalah persoalan kekuasaan , contoh yang terjadi pada dua orang anggotaDPR dari partai bulan bintang (PBB) yang menentang kepemimpinan partainya karena yusril ihzamahendra memanipulasi jalanya muhtamar sehingga mampu menguasai kembali kepemimpinan partaitersebut.Akibatnya hartono marjono dan abdul kadir jaelani dikeluarkan dari fraksi PBB tetapi tidak dapat di recallkarna UU No. 4 tahun 1999 tentang susunan kedudukan DPR/MPR tidak mengenal lembaga recallsebagaiman yang dikenal sebelumnya. Sehingga demikian tidak bisa lagi diberi kepercayaan dan amanahPartai politik yang mendudukan perwakilanya di DPR yang tentunya memiliki tujuanya untukmenyampaikan aspirasi masyarakan kepada pemerintah saat ini tidak lagi menjadi tumpuan pengharapandalam memperjuangkan aspirasi rakyat, ditengah gencarnya perjuangan kelompok dan pejuangankepentingan diri sendiri yang di kedepankan, kepercayaan masyarakat terhadapnya menurun, kepercayaanyang diberikan mewakili rakyat digunakan untuk berkolusi dengan eksekutif, proses dagang sapi marakteradi. Antara kalangan eksekutif tidak ada lagi kontrol yang baik akan tetapi aktifitas yang salingmenguntungkan diantara keduanya yang marak terjadi, antar eksekutif dan legislatif, sehinggapembangunan daera yang ada dengan jalan yang salah, kalu kita memperhatikan kondisi programpembangunan yang ada di daerah, seperti program studi banding yang marak dilakukan oleh legislatif yang notabene dijadikan untuk ajang untuk santai dan mendapatkan duit demi kepentingan pribadi bukanuntuk kepentingan rakyat. Program pelatihan yang dilakukan di berbagai tempat yang ada di daerah yangtidak menghasilkan apa-apa hanya di jadikan untuk mencari keuntungan.Kasus tersebut diatas dapat dilihat pada anggota DPRD jawa timur melakukan studi banding keluar negriyang kemudian di persoalkan oleh masyarakat. Demikian salah satu komisi di DPRD DKI Jakartamelakukan studi banding ke jepang dan cina yang lebih mengesankan jalan-jalan. Bahkan anggota DPRDtangerang menyaksikan pertandingan sepakbola dari kota tangerang di makassar dengan mengguakanfasilitas dari pemerintah daerah.Pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh DPR, sehingga muda untuk menjatuhkan, sehingga dapatdijadikan sebagai alat untuk mejatuhkan kepala daerah yang ada, dengan semena melakukan tekananterhadap pemerintah daerah, hal itu dapat dilihat pada seorang gubernur di jawa timur pernahmenyampaikan bahwa anggota DPRD di provinsinya meminta imbalan Rp. 100.000.000, untuk menerimalaporan pertanggung jawaban tahunan dari gubernur yang bersangkutan, untungya permintaan tersebuttidak dipenuhi oleh gubernur tersebut.Hal lain yang dapat juga kita lihat misalnya pada pencalonan kepala daerah, dimana para calon yanghendak maju sebagai kepala daerah yang ada diperlukan cos politk yang cukup banya untuk mendapatdukungan dari sebuah partai, jika tidak terpenuhi maka keinginan untuk mencalonkan kepala daerah akansirna. Meskipun demikian ada yang mengritisi terahadap pelaksanaan pemilihan secara langsung, yangmana pada pelaksanaanya harus dilakukan secar bertahap, atau dilakukan uji coba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar